Halaman

Selasa, 26 Oktober 2010

Hudud (Hukuman Syar’i) bagi Orang yang menuduh Orang Lain Berzina dan Hudud (Hukuman Syar’i) Li’an

oleh Imam Al Mawardi

Hukuman orang yang menuduh orang lain berzina ialah delapan puluh kali cambuk. Hukuman tersebut sesuai dengan nash dan ijma’ para fuqaha’. Hukuman ini tidak ditambah dan dikurangi. Hukuman tersebut termasuk hak-hak manusia; diterapkan karena adanya permintaan, dan gugur dengan pengampunan (amnesti). Jika terkumpul lima syarat pada orang yang dituduh berbuat zina, dan tiga syarat pada orang yang menuduhnya berzina, maka hukuman wajib dijatuhkan di dalamnya.
Adapun kelima syarat pada tertuduh kasus zina ialah
baligh, berakal, orang muslim, orang merdeka (bukan budak), dan “bersih”. Jika tertuduh kasus zina adalah anak kecil atau orang gila atau budak atau tidak bersih karena pernah dijatuhi hukuman zina, maka tidak hukuman bagi penuduh, namun ia diberi ta’zir (sanksi disiplin) atas tindakannya menyakiti orang lain, dan atas kelancangan mulutnya.
Tiga syarat pada penuduh orang lain berzina ialah telah baligh, berakal, dan orang merdeka (bukan budak). Jika penuduh kasus zina adalah anak kecil, atau orang gila, ia tidak dikenakan hukuman dan tidak pula dikenaka ta’zir ( sanksi disiplin). Jika ia budak, ia dihukum empat puluh kali cambuk separoh dari hukuman orang merdeka (bukan budak), karena ia berstatus budak.

Orang kafir dihukum seperti halnya orang muslim, dan wanita juga dihukum seperti halnya orang laki-laki.
Penuduh orang lain berzina dikatagorikan sebagai orang fasik, dan kesaksiannya tidak diterima. Jika ia bertaubat, maka status kefasikan dirinya menjadi hilang, dan kesaksiannya diterima sebelum dan sesudah hukuman dijatuhkan kepadanya. Abu Hanifah berkata, “Kesaksiannya diterima,jika ia bertaubat sebelum dijatuhi hukuman, dan kesaksiannya tidak diterima, jika ia bertaubat setelah dijatuhi hukuman.”
Menuduh orang lain melakukan hmoseksual atau menggauli hewan juga sama dengan menuduh orang lain berzina, dan pelakunya wajib dijatuhi hukuman.
Jika seseorang menuduh orang kafir berzina atau mencuri, maka hukuman tidak dikenakan terhadapnya, namun ia dikenakan ta’zir (sanksi disiplin), karena ia telah menyakiti orang lain dengan tuduhannya tersebut.
Tuduhan zina itu harus diucapkan dengan berkata, “Hai pezina.” Atau berkata, “Engkau telah berzina.” Atau berkata, “Aku melihatmu berzina.” Jika ia berkata, “Hai orang yang berdosa.” Atau berkata, “Hai orang fasik.” Atau berkata, “Hai orang yang melakukan homoseksual.” Maka itu kiasan yang interpretative dan ia tidak dijatuhi hukuman, kecuali jika ungkapan tersebut dimaksudkan sebagai tuduhan berzina. Jika ia berkata, “Hai orang yang cabul.” Itu kata kiasan menurut sahabat-sahabat Imam Syafi’I karena kata tersebut interpretative, dan bukan kata kiasan menurut ulama lainnya, karena Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,

“Anak itu milik ranjang (suami istri), dan kerugian itu bagi pezina.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad)
Imam malik menyamakan kata insinuasi (sindiran) dengan bahasa langsung (transparan) sehingga mewajibkan adanya hukuman bagi tertuduh. Kata insinuasi (sindiran) misalnya dalam kondisi marah atau malu, seseorang berkata, “Saya telah berzina.” Yang ia maksudkan dengan ucapannya di atas ialah, “Engkau telah berzina.” Menurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah, “Kata Insinuasi tidak menghendaki adanya hukuman hingga orang yang mengatakannya mengakui bahwa yang ia maksud dengan kata tersebut ialah tuduhan zina.” Jika ia berkata, “Hai anak dua orang yang berzina.” Maka kata tersebut berarti tuduhan zina kepada orang tuanya. Oleh karenanya, kedua orang tuanya dikenakan hukuman, jika keduanya diminta dihukum atau salah seorang dari keduanya diminta dihukum atau salah seorang dari keduanya. Terkecuali jika keduanya telah meninggal dunia, maka hukuman diwariskan keduanya kepada ahli warisnya. Abu Hanifah berkata, “Hukuman tuduhan zina tidak bisa diwariskan.”
Jika tertuduh kasus zina ingin menyerahkan sejumlah uang untuk membatalkan hukuman tuduhan berzina, maka tidak diperbolehkan. Jika seseorang anak menuduh ayahnya berzina, ia dikenakan hukuman. Jika seorang ayah menuduh anaknya berzina, ia tidak dikenakan hukuman. Jika penuduh tidak dihukum hingga tertuduh berzina, maka hukuman tuduhan zina tidak gugur dari penuduh. Abu Hanifah berkata, “Hukuman menjadi gugur.”
Jika seseorang suami menuduh istrinya berzina, ia dikenakan hukuman, kecuali jika melakukan li’an terhadap istrinya.

Li’an
Li’an ialah seorang suami berkata di masjid jami’ diatas mimbar atau disampingnya dengan dihadiri hakim dan disaksikan minimal empat orang, “Saya bersaksi kepada Allah, bahwa saya termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan saya terhadap istri saya bahwa ia berzina dengan si Fulan, dan bahwa anak ini hasil hubungan zina, serta anak ini bukan anak saya.” Ucapan di atas ia ucapkan jika ia ingin tidak mengakui anak tersebut dan ia mengucapkannya hingga empat kali, kemudian pada tahap kelima, ia berkata, “Laknat Allah atas saya jika saya termasuk orang-orang yang bohong dalam tuduhan saya kepada istri saya bahwa ia telah berzina dengan si Fulan, bahwa anak ini hasil hubungan zina, dan ia bukan anak saya.” Jika ia telah mengucapkan ucapan di atas, ia telah melakukan li’an dengan sempurna,hukuman tuduhan berzina gugur darinya, dan hukuman zina harus dijatuhkan kepada istrinya, kecuali jika istrinya melakukan li’an dengan berkata,”Aku bersaksi kepada Allah bahwa suamiku pasti termasuk orang-orang yang bohong dalam tuduhannya kepadaku bahwa aku telah berzina dengan si Fulan. Sesungguhnya anak ini adalah anaknya dan ia bukan hasil hubungan zina.” Istrinya mengucapkan kata di atas hingga empat kali, kemudian pada tahap kelima kalinya, ia berkata, “Murka Allah menimpaku, jika suamiku termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhannya bahwa aku telah berzina dengan si Fulan”
Jika istrinya telah melakukan hal diatas, gugurlah hukuman zina darinya, anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya, suami istri tersebut dipisahkan, dan diharamkan rujuk untuk selama-lamanya.
Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang pemisahan suami istri tersebut. Imam Syafi’I berpendapat, “Pemisahan keduanya terjadi cukup dengan li’an dari sang suami.”
Imam Malik berkata,”Pemisahan keduanya terjadi terjadi dengan li’an keduanya (suami istri).”
Abu Hanifah berkata,”Pemisahan keduanya tidak terjadi karena li’an keduanya hingga hakim memisahkan keduanya.”
Jika seorang istri menuduh suaminya berzina, istri dijatuhi hukuman, tanpa harus melakukan li’an.
Jika seorang suami membatlkan tuduhan zina kepada istrinya setelah ia melakukan li’an, maka anak dinasabkan kepadanya, dan ia dikenakan hukuman tuduhan zina. Menurut Imam Syafi’I, “Istrinya menjadi tidak halal baginya.” Menurut Abu Hanifah, “IStrinya tetap halal baginya.”

Sumber: Al Ahkam As Sulthaniyyah karya Imam Al Mawardi
(TAKEN FROM: http://warlordmedia.blogspot.com/2010/08/hudud-hukuman-syari-bagi-orang-yang.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar