Halaman

Jumat, 01 Juli 2011

MANAJEMEN AMARAH

  Artikel ini dikutip dari berbagai sumber di internet plus penulis sedang malas untuk ngedit so.... langsung copas aja deh....... so.... MAAF BGT ya..... untuk yg artikelnya kena copas.q

MANAJEMEN AMARAH 1 :
Amarah adalah sifat alamiah yang dimiliki setiap manusia. Begitu kata Prof. DR. Dr. Dadang Hawari, Sp.KJ. Amarah manusia muncul karena adanya dorongan agresif yang lazim disebut dengan istilah human agressive. Dorongan rasa marah ini bisa saja muncul karena sesuatu terjadi di luar dugaan atau di luar perhitungan. Harapan yang tinggi sementara kenyataannya tidak demikian juga bisa menyebabkan kekecewaan dan dapat memicu rasa marah. Sejalan dengan dengan pandangan Dadang Hawari, psikolog E. Kristi Poerwandari dari Bagian Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mendefinisikan marah sebagai salah satu emosi. Secara garis besar dorongan marah itu disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor internal (dari dalam diri). Ada konflik internal yang tidak bisa terselesaikan dan akhirnya keluar dalam bentuk marah. Misalnya Anda merasa gusar karena tak bisa bangun pagi sehingga selalu terlambat rapat dengan klien. Kedua, faktor eksternal. Misalnya, ada provokasi dari luar.

Apapun penyebabnya, internal atau eksternal, marah merupakan emosi yang tersalur melalui sinyal pengantar syaraf atau neurotransmitter, pada sel-sel syarat pusat otak. Sinyal ini diteruskan ke kelenjar endokrin suprarenalis penghasil hormon adrenalin. Akibatnya tekanan darah naik. Mukanya menjadi merah, jantung berdebar-debar kencang mengikuti peningkatan hormon adrenalin tadi.

Biasanya dorongan untuk marah muncul untuk survival, atau mempertahankan hidup. Orang tidak akan diam saja manakala dirinya diserang atau diperlakukan tidak adil oleh pihak lain. Secara refleks akan timbul sikap mempertahankan diri, atau yang kita sebut defense mechanism.

Menurut Kristi, marah sering dianggap sebagai emosi yang negatif sebab marah membangkitkan toksin yang meracuni emosi, dan dapat memunculkan tindakan yang berdampak negatif, seperti melukai orang lain. Tapi marah tidak selalu itu buruk. Bila seseorang diperlakukan tidak baik, dan dia menunjukkan reaksi marah, itu dianggap sebagai hal yang wajar. Marah bisa dinilai positif ketika perasaan itu muncul saat melihat seseorang diperlakukan tidak adil, atau menimbulkan rasa ingin menolong. Artinya rasa marah itu bisa mendorong seseorang melakukan hal yang positif atau yang dianggap baik.

Ketika amarah diekspresikan secara destruktif (memaki, memukul, atau merusak barang), maka marah menjadi emosi yang buruk. Lepas kendali dapat memicu perasaan frustasi, bingung, dan tidak berdaya. Banyak gangguan fisik, emosional, dan mental yang disebabkan oleh marah yang tidak terkendali. Hasilnya antara lain ketegangan di lingkungan kerja atau kekerasan dalam rumah tangga. Ekspresi marah ini juga dituding memicu kriminalitas, bahkan konflik internasional.

Jadi, kata Kristi lagi, marah akan berdampak buruk bila diungkapkan secara agresif dan berlebihan. Lebih buruk lagi bila yang bersangkutan tidak menyadari dirinya melakukan hal yang negatif. Karena itu ia menyarankan sebaiknya amarah dikeluarkan dengan syarat:

1. Marah haruslah karena alasan yang tepat, bukan karena faktor subyektif. Banyak kasus kemarahan timbul di lingkungan keluarga. Misalkan suami marah secara berlebihan karena merasa tidak dihargai oleh istrinya, padahal hanyalah pandangan subyektif sang suami.

2. Marah haruslah terkendali. Marah yang membabi buta, bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Marah juga bisa berdampak negatif pada diri sendiri atau pada diri orang lain ketika yang bersangkutan tidak secara jujur mengakui rasa marahnya, atau memendam amarah. Marah yang tidak dikeluarkan bisa menyebabkan sakit kepala, nyeri punggung, mual, bahkan depresi. Mereka yang suka meremehkan, mengkritik, dan berkomentar sinis terhadap orang lain biasanya adalah orang yang tidak terbiasa mengekspresikan kemarahannya.

Meskipun sebaiknya rasa marah itu dilepaskan saja dan jangan disimpan, Dadang Hawari menilai pendapat ini tidak selalu baik untuk diterapkan. “Apakah kalau marah dilepaskan lantas kita menjadi puas? Apa bukan sebaiknya justru menyebabkan orang yang dimarahi menjadi sakit dan akhirnya menimbulkan persoalan baru ?” ujar psikiater itu. Lalu bagaimana baiknya? “Yang baik adalah kalau merasa marah, kita redam dan netralisir dengan diri sendiri sambil menyelesaikan pokok permasalahan yang dihadapi,” tambah Dadang.

Sebetulnya rasa marah itu bisa dikelola. Sebagai makhluk yang beradab, manusia tentu mempunyai mekanisme pengendalian diri. Ada orang yang mampu meredam marah tapi ada juga yang tidak bisa. Kalau pengendalian dirinya lemah, maka bisa terjadi agresivitas, dimana kemarahan secara fisik maupun verbal keluar membabi buta. Tapi orang sudah terlatih untuk bisa sabar, mekanisme internal di dalam dirinya bisa meredam emosi yang meletup-letup dan tidak terpancing untuk bertindak agresif.

Dadang Hawari mengatakan manajemen marah ini dilakukan dengan mengedepankan rasio dari pada emosional. Seseorang yang mampu mengelola amarahnya berarti melakukan mekanisme rasionalisasi dalam tubuhnya. Mekanisme ini mengantarkan pola pikir yang sifatnya positif sehingga bisa meredam konflik atau emosi. Tapi rasionaliasasi ini tidak muncul begitu saja, butuh kemauan, upaya dan latihan yang keras.

Dalam berbagai kasus, seseorang yang terbiasa marah secara agresif bisa dilatih untuk mengendalikan emosi. Caranya dengan mencari penyebab munculnya letupan marah tersebut. Misalnya pada kasus dimana rasa marah muncul untuk menutupi rasa kurang percaya diri, terapi yang dilakukan terlebih dahulu difokuskan pada upaya membangkitkan rasa percaya diri.

Menurut Kristi, salah satu terapi yang bisa diterapkan untuk mengontrol amarah adalah dengan membuat kontrak diri. Kontrak ini berisikan perjanjian tidak akan melakukan tindakan agresif yang merugikan orang lain. Bila melanggar, yang bersangkutan dikenakan sanksi yang berat. Substansi kontrak diri ini tidak bisa dibuat asal-asalan saja tapi harus dibahas bersama dengan psikolog.

Sebetulnya melatih diri mengelola amarah merupakan hal yang memang patut dilakukan, terutama untuk meningkatkan kualitas diri. Sekarang ini kualitas manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ (Intelligence Quotient), tapi juga oleh EQ (Emotional Quotient).

MENEJEMEN AMARAH 2:
Marah ? Siapa sih yang nggak pernah marah ? marah itu suatu ekspresi perasaan tidak terkontrol, sebagai reaksi dari hinaan atau sesuatu yang menyinggung harga diri, atau mendapati dirinya dalam kondisi yang yang tidak dia sukai. Hal itu dapat berkelanjutan dengan suatu tindakan yang berupa balas dendam, apabila kemarahan tersebut belum dihilangkan penyebabnya. Kemarahan itu adalah elemen campuran dari elemen emosional fisiologis, dan kognitif.
Pertama, menjadi seorang yang pemarah merupakan suatu hal yang sangat MUDAH dilakukan. Dimana sejak kecil manusia selalu terbiasa untuk memenuhi segala keinginan yang timbul dari pikirannya.

Semakin lama keterikatan akan keinginan ini semakin kuat menguasai dirinya. Keterikatan keinginan ini membangkitkan rasa ego didalam dirinya semakin kuat, sehingga rasa kepemilikan dan ke-aku-an menjadi semakin kuat dan besar tanpa disadarinya.

Adanya keterikatan akan rasa kepemilikan dan rasa ke-aku-an yang merasa superior dari mahluk lain, membangkitkan dorongan emosi yang semakin besar untuk selalu menjaganya. Emosi yang timbul semakin lama semakin membesar. Bilamana emosi ini tidak dapat terkendali lagi, akhirnya akan menjadi sumber pembangkit rasa marah yang tidak terkendali. Sehingga awal dan sumber kelahiran rasa marah yang muncul di dalam pikiran tidak dapat disadarinya, akhirnya dirinya merasakan bahwa rasa marah yang timbul sebagai jati diri yang sebenarnya.

Sejak kecil hingga sekarang manusia pada umumnya selalu berada pada jalur ini. Di jalur dimana mereka selalu berusaha memuaskan keinginan yang timbul dari pikiran, sehingga keterikatan yang selalu didapati pada akhirnya. Keterikatan yang timbul sebenarnya adalah sumber segala penderitaan. Semakin banyak keinginan yang timbul, maka semakin besar keterikatan yang terbentuk, dan akhirnya semakin besar pula penderitaan yang akan dirasakan.

Kedua, menjadi seorang yang dapat menahan rasa marah merupakan suatu perbuatan yang TIDAK MUDAH. Disini mereka dituntut untuk selalu dapat manahan emosinya. Rasa marah yang timbul harus dapat mereka kendalikan. Walaupun kadang kala pada awalnya rasa marah ini menguasai mereka, tetapi mereka harus berusaha untuk dapat menguasai kembali emosinya.

Banyak cara untuk menguasai emosi yang timbul seperti berusaha untuk membaca mantra, mengatur nafas, atau berusaha untuk memperlambat nafas, dan ada pula dengan cara mengalihkan konsentrasi dan emosi ke hal lainnya seperti berlatih meditasi. Bermacam-macam cara untuk menahan rasa marah memerlukan latihan yang tidak mudah.

Terakhir adalah menjadi seorang yang dapat memahami amarah yang timbul, merupakan suatu hal yang SANGAT TIDAK MUDAH. Mereka yang tidak lagi terpengaruh oleh timbulnya emosi rasa marah, adalah mereka yang dapat memahami awal timbul amarah yang bersumber dari pikirannya.

Mereka yang dapat memahami awal timbul amarahnya adalah mereka yang telah memiliki kesadaran sejati yang jernih dan terbebaskan dari gambaran pikiran.

Hanya dengan kesadaran sejati maka emosi yang timbul dari gelombang dan gambaran pikiran dapat dihilangkan. Dengan memahami kesadaran sejati, segala macam penjelmaan pikiran yang pada awalnya memang tidak ada akan kembali seperti pada awalnya dan hilang dengan sendirinya. Berhati-hatilah selalu dengan penjelmaan pikiran yang sifatnya selalu berusaha untuk memperdaya kesadaran sejati.

Kekuatan pikiran yang tidak terkontrol pada mereka yang tidak membina Kesadaran Sejati, akan sangat jelas terlihat pada saat mereka dikuasai oleh pikiran yang membangkitkan emosi marah. Rasa marah yang bangkit bagaikan gemuruh ombak yang menghantam segalanya, dimana tiada lagi dapat di bedakan antara angin dan lautan yang sesungguhnya.

Mereka yang terjebak dalam lingkaran emosi pada umumnya tidak lagi menyadari bahwa dirinya telah di kuasai oleh emosinya, sehingga emosi yang timbul akan lebih mudah meluap tanpa disadari. Emosi-emosi yang timbul ini akan menghabiskan energi chi didalam tubuh. Sehingga semakin sering timbulnya emosi yang meluap, akan berakibat semakin besar energi chi yang terbuang dengan percuma.

Bilamana energi chi semakin berkurang didalam tubuh akan mengganggu peredaran energi chi baik yang melalui jalur chakra maupun yang melalui jalur pembuluh darah dan syaraf. Akibat terganggunya energi chi di dalam tubuh maka kemungkinan timbulnya penyakit di dalam tubuh akan lebih besar.

Bagi pencari kebenaran Kesadaran Sejati sebaiknya selalu berhati-hati dalam memahami Kesadaran Sejati yang sesungguhnya. Walaupun telah lama dan banyak berlatih berbagai macam cara untuk menguasai pikiran yang timbul baik berupa emosi, keinginan, dan keterikatan. Ingatlah selalu bahwa jelmaan dari pikiran adalah tanpa batas.


“TIDAK ADA YANG DIDAPAT DARI SEORANG PEMARAH KECUALI PERASAAN TERTEKAN YANG SELALU MENGHANTUI HIDUPNYA UNTUK SELAMA-LAMANYA.”

  (Dikutip dari berbagai sumber) ----- LAGI MALES NGEDIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar